Sulindomedia – Konferensi partai-partai politik yang berada di kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang bergabung dalam International Conference of Asian Political Parties( ICAPP), Conferencia Permanente de Partidos Politicos de America Latina (COPPAL), dan Council of African Political Parties (CAPP) baru usai diadakan di Jakarta. Konferensi yang berlangsung 22-23 April lalu menghasilkan sebuah kesepakatan bersama yang tertuang dalam “Deklarasi Jakarta”.
Salah satu rekomendasi yang sangat penting adalah posisi para partai peserta konferensi terhadap trans-national crime. Globalisasi dan pasar bebas selain melahirkan efek positif, juga melahirkan problematika global, seperti isu terorisme, narkotika, bahkan perdagangan manusia (human trafficking).
Bagi politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Rieke Diah Pitaloka, hal krusial lainnya yang penting untuk mendapatkan perhatian dari seluruh negara, termasuk partai-partai politik adalah terkait kejahahatan di sektor keuangan. Prakteknya dapat berupa kejahatan berkedok transaksi perbankan, bisnis offshore, penghindaran dan penggelapan pajak, pencucian uang hasil kejahatan.
“Situasi ini pada titik tertentu memberikan kontribusi signifikan pada pemiskinan di setiap negara, bahkan mengancam kedaulatan politik dan ekonomi,” ujar Rieke pekan lalu.
Sebuah isu finansial global yang menghentak dunia, yang baru saja terungkap adalah kasus “Panama Papers”.
“Kita dikejutkan dengan daftar sekian banyak orang (termasuk pejabat-pejabat) dari berbagai negara yang terindikasi ‘menyembunyikan uangnya’,” tutur Rieke.
Rieke melihat ada indikasi kejahatan perbankan yang secara sistematis dan terorganisir menjadi legalitas atas tindakan penggelapan dan penghindaran pajak, serta pencucian uang hasil kejahatan. Artinya, kerahasiaan perbankan menjadi sebuah isapan jempol belaka, saat setiap orang bisa melakukan transfer uang ke negara mana pun, hanya dengan menekan tombol “enter” melalui jaringan dunia maya.
“Saya meyakini, kita mampu berpikir dengan jernih dan dengan kedalaman dari yang diungkap Panama Papers. Bahkan masih cukup waktu bagi partai-partai politik yang ada di Indonesia untuk mendorong lahirnya berbagai undang-undang dan produk hukum, baik yang berlaku di dalam sebuah negara maupun menjadi sebuah kesepakatan bilateral, maupun multilateral untuk mengakhiri ‘kerahasian negatif perbankan’,” tuturnya.
Karenanya, perlu bahu-membahu dengan partai-partai politik di negara lain untuk bersama memerangi penggelapan dan penghindaran pajak.
Konferensi yang baru saja usai bagi Rieke seperti sebuah penyadaran politik. Ini merupakan momen otokritik untuk tidak menjadi bagian dari berlindungnya para pelaku kejahatan keuangan di bawah istilah tax haven, menjadi pihak yang justru mengampuni para pelaku kejahatan keuangan dengan berkelindan, berdalih mengatasnamakan menyelamatkan kas negara, mendorong lahirnya Undang-Undang Pengampunan Pajak.
Rieke mengakui, bukan politikus yang ahli dalam isu keuangan, perpajakan, dan “bagi hasil tambah kurang” dari suatu produk undang-undang yang digolkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah.
“Yang saya tahu dari hasil analisa, kajian yang saya dan tim ekonomi (yang mensupport saya selama ini di DPR) lakukan, di hampir semua negara (termasuk Indonesia) peredaran uang tak lebih dari 10 persen. Sedangkan, sisanya hanya angka virtual di dunia perbankan,” ujarnya.
Menurut dia, di tengah para pelaku kejahatan keuangan dan para pemburu rente di berbagai negara, ada juga yang masih berjuang untuk memerangi praktik-praktik haram tersebut. Sebut saja KTT Perpajakan di Berlin 2014 yang menghasilkan komitmen bersama dari sekitar 50 negara untuk memerangi penghindaran dan penggelapan pajak.
“Kita harus memiliki keyakinan teguh dalam memperjuangkan hal-hal tersebut. Saya percaya, jika mulai hari ini kita dapat bekerjasama secara serius, (semoga 2017) terwujud target masing-masing negara akan mendapatkan “full tax rate”, seperti tertuang dalam FATCA, maupun CRS, (tanpa perlu mengampuni siapa pun pelaku kejahatan keuangan),” imbuhnya.
Dia berharap konferensi ICAPP ke 26 ditindaklanjuti dengan kerjasama antar partai dan antar parlemen di kawasan Asia, Afrika dan Amerika Latin bergerak untuk berjuang bersama menyelamatkan uang rakyat, mengembalikannya kepada kas negara, dan selanjutnya dipergunakan sebagai modal pembangunan yang berwatak kemandirian dan kedaulatan.
Rieke mengajak seluruh elemen bangsa untuk mendukung pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla agar pro aktif melakukan hubungan antar negara, antarpemerintah (G to G) yang memperkuat pertukaran informasi mengenai transaksi dan rekening keuangan yang mencurigakan, termasuk di negara-negara.
Dirinya mendorong lahirnya undang-undang, dan aturan hukum yang memiliki standard internasional untuk mendorong setiap institusi keuangan memberikan laporan secara transparan, serta berkontribusi pada pendistribusian keadilan. Bukan sebaliknya, menjadi pelindung para pelaku kejahatan keuangan dan pemburu rente.
Dia mengajukan pertanyaan kepada pemerintah dan siapa saja yang saat ini sedang getol mengampanyekan segera disahkannya RUU Pengampunan Pajak (tax amnesty): Betulkah RUU Pengampunan Pajak untuk menyelamatkan uang negara? Betulkah penyebab tidak stabilnya keuangan negara karena kita tidak memiliki UU Pengampunan Pajak?Betulkah UU ini suatu langkah patriotik untuk menyelamatkan negara?
“Mari kita tanyakan pada diri kita sendiri: betulkah tidak ada ‘jatah’ bagi siapa pun yang menjadi bagian dari disahankannya UU Pengampunan Pajak, baik itu pemerintah, DPR, parpol, maupun NGO,” katanya.
Sejatinya, tambahnya, kita tidak menjadi bagian dari mereka yang menggadaikan dan atau menjual republik ini. “Kita harus menjadi bagian yang berkhidmat melanjutkan perjuangan para pendiri bangsa. Semoga kita bukan orang-orang yang melukai sejarah,” tutur Rieke. [CHA]
Sumber: Koran Sulindo