Rieke Diah Pitaloka, aktivis, politisi, akademisi, yang mengawali kariernya sebagai pekerja seni. Rieke tidak pernah memisahkan antara seni dan politik, seperti disampaikannya dalam Pidato Kebudayaan Mangsimili, Yogyakarta, 20 November 2022.
“Saya politisi yang hidup dari seni. Seni mendidik saya menjadi politisi. Seni dan politik tidak pernah bisa saya pisahkan. Seni adalah puncak tertinggi dari semua aktivitas politik. Maka, politisi yang baik adalah juga seorang seniman. Seniman yang terampil membuka jalan menuju tercapainya kesejahteraan dan keadilan bagi segenap warga negara berdasarkan kebijakan publik yang tepat sasaran. Sebagai seniman yang juga politisi, saya berkeyakinan bahwa kesejahteraan rakyat tidak dapat dicapai dengan kebijakan politik, yang dirumuskan berdasarkan data-data yang tidak tepat.”
Rieke lahir di Garut, 9 Januari 1974, jenjang pendidikannya Sekolah Dasar Yos Sudarso Garut, Jawa Barat (1981-1987), SMP Negeri 2 Garut (1987-1990), SMA Negeri 1 Garut (1990-1993). Selanjutnya ia menempuh pendidikan S1 di Program Studi Sastra Belanda, Departemen Sastra, Universitas Indonesia (1994-2000), S2 Magister Filsafat, Universitas Indonesia (2001-2004), dan S3 Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia (2019-2022).
Dari sisi akademik, Rieke memiliki perhatian terhadap beroperasinya kekerasan negara. Tesisnya membongkar mekanisme kekerasan negara yang dilakukan oleh rezim kekuasaan otoriter dan totaliter. Ia membedah metode kekerasan yang dilakukan pada masa kekuasaan Hitler di Jerman dan Stalin di Uni Soviet. Hasil analisisnya memperlihatkan kedua rezim kekuasaan tersebut memiliki kemiripan dengan mekanisme kekerasan yang dilakukan oleh Soeharto pada masa pemerintahan Orde Baru di Indonesia.
Pisau analisis yang digunakannya adalah pemikiran filsuf Jerman, Hannah Arendt. Temuan pentingnya berupa banality of evil, yaitu kejahatan yang lahir dari kedangkalan berpikir, yang dikonstruksikan oleh para intelektual yang menyerahkan dirinya sebagai “tukang” penguasa. Para intelektual tersebut bertanggung jawab atas metode ketertundukan buta terhadap rezim. Hasilnya adalah masyarakat sipil yang banal terhadap kekerasan. Tesis ini kemudian dibukukan dengan judul Banalitas Kekerasan: Telaah Pemikiran Hannah Arendt tentang Kekerasan Negara (Penerbit Kukusan, 2010).
Rieke memutuskan untuk mengenyam pendidikan di tingkat doktoral, untuk lebih memperdalam pemikirannya tentang kekerasan negara. Hal tersebut didasari dari pengalaman empiriknya di dunia politik. Ia menengarai bahwa ketika rezim otoriter atau totaliter berakhir, bukan berarti akhir dari kekerasan negara terhadap warga negara. Terindikasi kuat kekerasan negara terus berlangsung dalam bentuk kekerasan simbolik yang beroperasi melalui bahasa yuridis.
Rieke menyelesaikan studi doktoralnya dalam waktu 2 tahun 8 bulan. Menggunakan pisau analisis Pierre Bourdieu dan Nick Couldry, ia mengungkap kekerasan simbolik negara dalam norma yuridis pendataan yang menjadi rujukan legal dalam produksi dan reproduksi data negara. Mekanisme kekerasan simbolik yang berhasil ia bongkar adalah pseudo data yang secara sistematis terus direproduksi oleh negara dengan pendekatan top down. Pseudo data tersebut merupakan instrumen legal bagi kekuasaan untuk mengarahkan dan menentukan kebijakan pembangunan di segala bidang kehidupan, sebagai praktik terselubung rekolonialisasi melalui angka dalam data negara. Atas temuan ini, Rieke Diah Pitaloka dinyatakan lulus dengan nilai cum laude dari program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Indonesia, pada 25 Mei 2022.
Keseluruhan disertasi Rieke Diah Pitaloka dituangkan dalam buku Kekerasan Simbolik Negara: Kebijakan Rekolonialisasi. Pada saat buku tersebut diluncurkan, Rieke bersama dengan jejaring intelektual kolektif-implementatif dari berbagai perguruan tinggi dan yang berada di berbagai Kementerian dan Lembaga Negara sedang memperjuangkan direkognisinya temuan dari Dr. Sofyan Sjaf, dkk (Institut Pertanian Bogor) tentang Data Desa Presisi (DDP). Perjuangan ini merupakan upaya melahirkan norma yuridis pendataan perdesaan yang membuka ruang partisipasi warga desa, untuk menghasilkan data yang akurat dan aktual. Data tersebut dibutuhkan guna mengakhiri kebijakan rekolonialisasi menjadi kebijakan afirmatif negara. Tujuannya adalah melahirkan kebijakan pembangunan yang terukur, terencana dan tepat sasaran, sekaligus untuk menyelamatkan ribuan triliun uang rakyat di kas negara.
Rieke menjabat sebagai anggota DPR-MPR RI Fraksi PDI Perjuangan (2009-2014, 2014-2019, dan 2019-2024). Kesadaran politik yang dilatarbelakangi pemikiran akademik mempengaruhi perjuangannya sebagai wakil rakyat dalam mengakhiri kekerasan simbolik negara yang menyusup lewat bahasa yuridis dalam peraturan perundang-undangan. Ia berkontribusi penting terhadap dijalankannya Sistem Jaminan Sosial Nasional. Tercatat Rieke merupakan inisiator lahirnya Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Jaminan Sosial Nasional. Undang- Undang tersebut menjadi landasan hukum dijalankannya lima jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yaitu Jaminan Kesehatan, Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Pensiun, Jaminan Hari Tua, dan Jaminan Kematian.
Sebelum berkiprah di parlemen, Rieke merupakan Duta Buruh Migran ILO dan salah satu Board of Commitee Migrant Worker in Asia. Berkolaborasi dengan Migrant Care dan jejaring aktivis pejuang hak-hak pekerja migran ia menjadi anggota DPR RI yang mengusung revisi atas Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Koalisinya dengan masyarakat sipil berhasil menggeser perspektif negara yang tadinya berorientasi pada bisnis penempatan buruh migran, menjadi perspektif perlindungan. Perjuangan panjang tersebut membuahkan hasil disahkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017
Rieke saat ini merupakan Ketua Umum Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia, Duta Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Dewan Pakar Indonesia untuk Memory of The World UNESCO, Dewan Penasihat Majelis Desa Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Ketua Dewan Pakar Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI). Ibu dari Sagara Kawani, Jalu Manon Badrika, Jalu Manon Wisesa ini juga merupakan salah satu penyair perempuan Indonesia yang mendapatkan ilmu menulis puisi dari penyair Sitor Situmorang. Ia telah menerbitkan beberapa buku puisi, yaitu Renungan Kloset; dari Cengkeh sampai Utrecht (2003), Ups! (2006), Sumpah Saripah (2011), dan antologi puisi bersama Agus Noor berjudul Cara Menikmati Kenangan dengan Baik (2021). Beberapa penghargaan yang diperoleh Rieke adalah Young Global Leader (2011) dari World Economic Forum, The Most Powerful Woman (2010) dari Asia Globe.